Sabtu, 24 September 2011

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al- muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah

Sedekah untuk Keluarga yang Telah Meninggal

Selain do’a terhadap keluarga yang sudah meningal dunia, persoalan yang sering menuai perbedaan pendapat di kalangan umat Islam adalah masalah bersedekah untuk (atas nama) mereka. Apakah sedekah semacam ini diperbolehkan, apakah pahalanya akan sampai, dan seterusnya.

Sedekah ini seringkali ditunaikan karena beberapa sebab. Salah satunya, misalnya ketika masih hidup seseorang mempunyai keinginan (‘azam) atau bahkan janji (nadzar) untuk menyedekahkan sesuatu tetapi ia belum melaksanakannya karena segera meninggal dunia, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Sebab lainnya, seorang anak atau kerabatnya merasa mampu secara ekonomi dan ingin bersedekah atas nama orang yang sudah mati tersebut. Hal semacam itu pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Persoalan ini pernah dibahas dalam Muktamar Pertama Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada 13 Rabi’uts Tsani 1345 H bertepatan dengan 21 Oktober 1926. Para ulama menganjurkan sedekah ini dengan berdasar pada hadits berikut ini.

عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِى تُوَفِيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا أَنْ اَتَصَدَّقَ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِى مِحْزفًا اُشْهِدُكَ إَِنِى تَصَدَّقْتُ بِهِاعَنْهَا (رواه البخارى والترمذي وأبو داود والنسائى)

Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa seseorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW. Dia berkata; “Ibu saya meninggal, Apakah ada manfa’atnya apabila saya bersedekah untuk ibu saya?” Rasulullah menjawab, “Ya berguna bagi ibumu.” Orang itu berkata lagi, “Saya mempunyai sebuah kebun dan engkau Rasulullah aku jadikan saksi, bahwa aku telah menyedekahkan kebun itu untuk ibu saya.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Sedekah untuk keluarga yang meninggal itu juga dikuatkan dengan Hadits Rasulullah SAW dari Siti ‘Aisyah ra.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ اُمِّى اُفْتُلِيَتْ (مَاتَتْ فُجْأَةً) وَأَرَا هَالَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ. متفق عليه

“Dari Siti ‘Aisyah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Ibu saya mati mendadak, dan saya yakin seandainya dia bisa bicara, dia bersedekah, apakah ibu saya mendapat pahala, seandainya saya bersedekah untuk ibu saya? Rasulullah menjawab, “ya ada pahala bagi ibumu.”(HR Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, tidaklah usah khawatir bahwa niat bersedekah khusus untuk atau atas nama keluarga yang sudah meningal dunia itu tidak akan sampai kepada yang bersangkutan, sebab Rasulullah SAW sendiri telah menjawab demikian.

Fadhilah Puasa Asyura

‘Asyura berasal dari kata ‘asyara, artinya bilangan sepuluh. Secara istilahi Puasa ‘Asyura adalah puasa yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram pada Kalender Islam Hijriyah. Tahun 1430 H ini hari 'Asyura bertepatan dengan 7 Januari 2009 M. Hukum puasa Asyura adalah sunnah; maksudnya sangat dianjurkan dan berpahala bagi yang menerjakannya namun tidak berdosa bagi yang tidak mengerjakannya.

Hadits dari Siti Aisyah RA yang diriwayatkan Imam Bukhori:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Rasulullah SAW memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka. (HR Bukhari)

Diriwayatkan bahwa puasa ‘Asyura sudah dilakukan oleh masyarakat Quraisy Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga melakukannya ketika masih berada di Makkah maupun seteleh berada di Madinah.

Diriwayatkan juga bahwa ketika Nabi SAW datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Nabi Musa AS berpuasa pada hari ini. Rasulullah bersabda,

فَأَناَ أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ

Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi).

Maka kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya. (HR Bukhari)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah pun sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura) diagungkan oleh orang Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan sesuatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)

Sebagian ulama memberikan nama tersendiri untuk puasa sunnah di tanggal 9 Muharam ini, yakni puasa Tasu’a, dari kata tis’a artinya bilangan sembilan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa puasa tanggal sembilan ini adalah bagian dari kesunnahan puasa asyura.

Adapun fadhilah atau keutamaan puasa asyura adalah seperti digambarkan dalam hadits dari Sahabat Abdullah bin Abbas berikut ini:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَومَ فَضْلِهِ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا اليَوْمِ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ وَهذَا الشَّهْرُ يَعْنِي شَهْرُ رَمَضَانَ

Aku tidak pernah mendapati Rasulullah SAW menjaga puasa suatu hari karena keutamaannya dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan. (HR Muslim)

Puasa ‘Asyura disandingkan dengan puasa Ramadhan. Rasulullah SAW juga bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ. وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيْضَةَ، صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR Muslim)

Keutamaan yang didambakan dari puasa ‘Asyura adalah dapat menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu. Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abu Qatadah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

وَصَوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ إنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَنَة َالتِيْ قَبْلَهُ

Puasa di hari ‘Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu. (HR Abu Daud)

Begitu besar keutamaan yang terkandung pada puasa di hari ini. Bahkan sebagian ulama salaf menganggap puasa ‘Asyura hukumnya wajib. Namun berdasarkan hadits ‘Aisyah di atas, kalaupun puasa ini dihukumi wajib maka kewajibannya telah dihapus dan menjadi ibadah yang sunnah.

Ziarah Kubur bagi Wanita

Di antara ulama yang mengatakan bahwa ziarah kubur bagi wanita dilarang adalah Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Maliki, terkenal dengan sebutan “Ibnu al-Hajj”. Ia berkata:

“Dan selayaknya baginya (laki-laki) untuk melarang wanita-wanita untuk keluar ziarah kubur meskipun wanita-wanita tersebut memiliki makam (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah untuk ziarah kubur”. (Lihat Madkhal As-Syar‘i Asy-syarif 1/250)

Sementara ulama yang menyatakan ziarah kubur bagi wanita boleh antara lain berpedoman pada hadits riwayat Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik RA bahwa:

Rasulullah SAW melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah SAW berkata padanya: “Bertaqwalah engkau kepada Allah SWT. dan bersabarlah.” Maka berkata wanita itu : “Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku”, dan wanita itu belum mengenal Nabi SAW, lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah SAW, ketika itu, ia bagai ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah).

Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah SAW dan dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu,” maka Nabi SAW berkata: Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (cobaan) pertama.”

Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. (Lihat Shohih Al-Bukhari 3/110-116).

Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”.

Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan, erangan, raungan dan semisalnya.

Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”. (Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an).

Sebenarnya, hukum ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan adalah sunnah. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Ziarah kubur yang dilarang adalah pemujaan, menyembah dan meminta-minta kepada penghuni kubur.

Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi wanita itu telah dicabut dan hukum berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah. Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan:

“Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)

وَسُئِلَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ زِيَارَةِ قُبُوْرِالأَوْلِيَآءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ إِلَيْهَا... فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ ِزيَارَةِ قُبُوْرِالأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إِلَيْهَا...

“Ibnu Hajar Al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab: “berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz II : 24).

Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah

Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlussunnah wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.

Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.

Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.

Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;

اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا (النساء : 48.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”

Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسلم.

“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى.

“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”

Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”

Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.

Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.

Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

DALIL YAASINAN

Yaasinan yang telah "mashur" di masyarakat kita yang juga sering disebut "Tahlilan" ialah sama sekali tidak mengada-ngada/ngawur, seperti hal dibawah akan kami urai dalil-dalil yang menjadi pegangan kita sebagai Ahlussunah Wal Jamaah. sebagai berikut:

Diantara dalil membaca Surat Yasin untuk orang yang meninggal, hadits Nabi Saw :
” اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ ” رواه ابو داود وصححه ابن حبان

“Bacalah yasin kepada orang-orang mati diantara kalian” {HR. Abu Dawud jilid 8/385}, hadist ini disahkan oleh Ibn Hibban.

Pendapat Abu Hatim dan sebagian ulama’ lainnya “ sunnah dibacakan Yasin, ketika menjelang kematian (sakarotul maut) karena Surat Yasin menceritakan kiamat, tauhid dan kisah-kisah umat terdahulu”. Namun menurut Ibn Rif’ah, dianjurkan membacanya setelah meninggal. Oleh karena itu lebih utama menggabung keduanya (membacanya di waktu sakarotul maut dan setelah meninggal). {Faidul Qodir juz 2 hal. 86}

Sebagian pendapat hadist ini do’if, namun tetap bisa diamalkan karena didukung oleh hadist lain yang kuat tentang sampainya pahala bacaan kepada mayyit

Pahala bacaan sampai kepada mayyit

Wasiat Ibn Umar dalam kitab Syarh Aqidah Thahawiyah hal : 458
نقل عن ابن عمر رضي الله عنه انه اوصى ان يقرأ على قبره وقت الدفن بفواتح سورة البقرة وخواتمها ونقل ايضا عن بعض المهاجرين قرائته سورة البقرة

“diriwayatkan Ibn Umar ra. berwasiat agar dibacakan awal surat Al-Baqarah dan akhirnya di atas kuburnya seusai pemakaman. Demikian juga dinukil dari sebagian shahabat Muhajirin adanya pembacaan surat Al-Baqarah”.

Hadist ini menjadi dasar pendapat Muhammad bin Hasan dan Ahmad bin Hambal padahal Imam Ahmad sebelumnya pernah mengingkari sampainya pahala dari orang yang hidup kepada orang yang sudah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang yang terpercaya tentang wasiat ibnu Umar, Beliaupun mencabut pengingkarannya. [Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal.25].

Disebutkan imam Ahmad bin Hambal berkata : ” sampai kepada mayyit [ pahala ] setiap kebaikan karena adanya nash–nash yang menerangkannya dan juga kaum muslimin berkumpul di setiap negeri untuk membaca alquran dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal. Hal ini terjadi tanpa ada yang mengingkari ,maka jadilah ijma’ (Yas’aluunaka fid din wal hayat oleh Dr.Ahmad Syarbasi jilid III/423)

Hadis dalam sunan Baihaqi dengan isnad hasan :
أن ابن عمر إستحب أن يقرأ على القبر بعد الدفن أول سورة البقرة وخاتمها

“ sesungguhnya Ibnu Umar menganjurkan untuk dibacakan awal surat al-Baqoroh dan akhirnya diatas kuburan seusai pemakaman”

Hadist ini mirip dengan wasiat Ibn Umar, bahkan di sini dinyatakan dianjurkan.

Hadist riwayat Daruquthni :
من دخل القبور فقرأ قل هو الله أحد إحدى عشرة مرة ثم وهب ثوابها للأموات أعطي من الأجر بعدد الأموات

“barang siapa masuk ke pekuburan lalu membaca surat Al-Ikhlas 11 kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada para mayit (dikuburan itu) maka ia diberi pahala sebanyak orang yang mati di tempat itu“

Hadist marfu’ riwayat Hafiz as-Salafi :
من مر بالمقابر فقرأ قل هو الله إحدى عشرة مرة ثم وهب أجره للأموات أعطي من الأجر بعدد الأموات

barang siapa melewati pekuburan lalu membaca surat Al-Ikhlas 11 kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada para mayit (dikuburan itu) maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu “ (mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26)

Syaikh Muhammad Makhluf, (mantan mufti mesir) berkata : “Tokoh-tokoh madzhab Hanafi berpendapat setiap orang melakukan ibadah baik sedekah atau bacaan al Qur’an atau lainnya dari macam-macam kebaikan, dapat dihadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahala itu akan sampai kepadanya”.

Syaik Ali Ma’sum berkata : “dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf akan sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Namun ada khilaf pada bacaan al Qur’an untuk mayyit . Menurut dasar Madzhab hukumnya makruh. Para ulama’-ulama’ muta’akhirin berpendapat boleh melakukannya dan menjadi dasar untuk diamalkan. Dengan demikian maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit. Ibn Farhun menukil bahwa pendapat akhir inilah yang rojih dan kuat”. [Hujjatu ahlis sunnah Wal jama’ah hal.15]

Dalam kitab Al-Majmu’ jilid 15/522 : “berkata Ibn Nahwi dalam syarah minhaj : dalam madzhb Syafi’I menurut qaul yang mashur, pahala bacaan tidak sampai, tapi menurut qaul yang muhtar, sampai apabila di mohonkan kepada Allah agar disampaikan bacaan tersebut”

Imam Ibn Qoyyim al- Jauziyyah berkata “yang paling utama dihadiahkan kepada mayit adalah sedekah, istighfar, do’a untuknya dan haji atas namanya. Adapun bacaan al-Qur’an serta menghadiahkan pahalanya kepada mayit dengan cara sukarela tanpa imbalan, akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji sampai kepadanya.” [Yas’alunaka fid din wal-hayat jilid I/442]

Ibn Taymiyyah pernah ditanya tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayyit juga tasbih, tahlil, dan takbir jika dihadiahkan kepada mayyit, apakah sampai pahalanya atau tidak? Beliau menjawab sebagaimana tersebut dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa jilid 24 hal. 324 : “sampai kepada mayyit bacaan Al-Qur’an dari keluarganya demikian tasbih, takbir serta seluruh dzikir mereka apabila mereka menghadiahkan pahalanya kepada mayyit akan sampai pula kepadanya”.

Jadi,,jangan ragu untuk kita semua,,,untuk membacakan Yaasiin kepada Ahli kubur

APA ITU HADÎTS QUDSIY

Mukaddimah
Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.
Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.
Definisi
Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.
Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
1. Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
2. Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
3. Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy
Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.
Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya di antara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)
Lafazh-Lafazh Periwayatannya
Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1.
عز وجل قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2.
قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya
Buku Mengenai Hadîts Qudsiy
Di antara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy.
Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.

Hak Suami Atas Isteri

Allah berfirman : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. 4:1)
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228)
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya : wanita yang bagaimanakah yang paling baik ? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : yang menyenangkannya (suaminya) jika ia memandangnya, taat kepadanya jika dia memerintahkan, dan dia tidak menyelisihinya dalam dirinya dan hartanya dengan sesuatu yang dibencinya. HR. Nasa'i.
2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu dia tidak datang kepadanya, kemudian suaminya bermalam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknatnya sampai pagi. Muttafaq 'alaih.
3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : tidak halal bagi seorang wanita untuk puasa sedang suami berada padanya kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh dia memberikan izin di rumahnya kecuali dengan seizing suaminya pula. Muttafaq 'alaihi.
Keterangan :
Kaum lelaki mempunyai hak yang agung atas kaum wanita, karena kaum lelaki memperhatikan, memelihara dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka dan sebagai balasan atas kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas kaum lelaki yang dapat merealisasikan kebaikan bagi pasangan suami istri dan keluarga secara utuh.
Kandungan ayat dan hadits di atas :
1. Besarnya hak kaum lelaki atas kaum wanita.
2.Kewajiban kaum wanita (istri) untuk taat kepada suami dalam hal kebajikan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, dan bahwa hal tersebut adalah sebab masuk surga bagi kaum wanita

Hak Isteri Atas Suami

Allah berfirman :
Dan bergaullah dengan mereka ( Istri-istrimu ) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. 4:19)
1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Ya Allah sungguh saya menimpakan kesusahan ( dosa ) kepada orang yang menyia-nyiakan hak dua macam manusia yang lemah yaitu : anak yatim dan wanita ) HR. Nasa'i.
2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena dia diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas, kalau kamu meluruskannya maka kamu telah mematahkannya.. Muttafaq 'alaihi.
3. Dari Hakim bin Mu'awiyah dari bapaknya bahwa bapaknya berkata : wahai Rasulullah ! apakah hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya ? maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : kamu memberi makan kepadanya jika kamu makan, dan kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian dan engakau tidak memukul mukanya, tidak menjelek-jelekkannya ( tidak berkata : semoga Allah memburukkan wajahmu ) dan tidak meninggalkannya kecuali dalam rumah. HRm Abu Daud.
4. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ( janganlah seorang mu'min membenci wanita mu'minah, karena jika ia membenci suatu sifatnya, maka dia akan ridha yang lainnya darinya. ) HR. Muslim.
5. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya dan orang-orang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik kepada istri-istrinya. HR. Tirmidzi.
6. Dari 'Amr bin Ahwash radhiyallahu 'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada waktu hajji wada' : ingatlah ( saya berwasiat kepada kamu agar berbuat baik pada kaum wanita, maka terimalah wasiatku ini terhadap mereka ) dan berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena sesungguhnya mereka pada sisi kalian bagaikan tawanan, dan kamu tidak memiliki dari mereka selain itu. HR. Tirmidzi.
Keterangan singkat :
Sebagaimana kaum lelaki mempunyai hak atas istri-istri mereka, demikian pula kaum wanita mempunyai hak atas suami-suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah kecuali jika setiap suami dan istri memenuhi hak-hak di antara mereka.
Kesimpulan :
1. Istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suaminya.
2. Wajib berbuat baik kepada kaum wanita.
3. Bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar selalu bersabar terhadap wanita dan berlemah-lembut kepadanya.
4. Bahwa wanita pada suaminya bagaikan tawanan yang lemah, oleh karenanya dia harus dikasihani, dibimbing, dilindungi dan diberikan hak-haknya.
5. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebankan dosa kepada mereka yang menyia-nyiakan hak wanita yang berada di bawah tanggungannya.
6. Bahwa orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang terbaik bagi istri-istrinya.

WALI NIKAH LEWAT TELEPON

Si a menjadi wali nikah dari seorang wanita (si b) dikota lain yang akan melangsungkan pernikahan. Pada hari dan saat akad nikah akan dilangsungkan, si a mendadak sakit dan tidak dapat menghadiri pernikahan tersebut. Kemudian si a mewakilkan kepada si c yang rumahnya berdekatan dengan si b lewat telepon untuk menikahkan si b. Sahkah mewakilkan perwalian (tauwkil) untuk akad nikah lewat telepon?

Jawaban:

hukum tawkil untuk akad nikah lewat telepon adalah sah, selama taukil tersebut dapat dipahami dan tidak ada penolakan dari pihak yang menerima wakalah.

Dasar pengambilan

1. Kitab asy syarqowi juz 2 halaman 10
قَوْلُهُ وَصِيْغَةً - كَوَكَّلْتُكَ فِى كَذَا او فَوَّضْتُ إِلَيْكَ كَذَا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مَشَافَهَةً او كِتَابَةً او مُرَاسَلَةً وَيُشْتَرَطُ عَدَمُ رَدِّهَا كَمَا يَأْتِى وَلاَ يُشْتَرَطُ العِلْمُ بِهَا. فَلَو وَكَّلَهُ وَهُوَ لاَيَعْلَمُ صَحَّتْ حَتَّى لَوْ تَصَرَّفَ قَبْلَ عِلْمِهِ صَحَّ كَبَيْعِ مَالِ أَبْيْهِ يَظُنُّ حَيَاتِهِ.

(ucapan mushannif “dan shighat”) seperti: aku mewakilkan kepadamu dalam masalah demikian, atau aku menyerahkan kepadamu demikian. Baik penyerahan itu secara lisan atau secara tertulis atau pengiriman utusan. Disyaratkan pula tidak ada penolakan terhadap wakalah (perwakilan) tersebut sebagaimana keterangan yang akan datang, dan tidak disyaratkan mengetahui wakalah. Andaikata seseorang mewakilkan kepadanya sedang dia tidak tahu, maka sah wakalah tersebut; sehingga andaikata dia mentasarufkan sebelum mengetahui ada wakalah, tasaruf(distribusi)-nya sah, seperti menjual harta ayahnya yang dia sangka ayahnya masih hidup.

2. Kitab bujairimi ‘ala al iqna’ juz 3 halaman 10
وَجُمْلَةُ مَا ذَكَرَهُ مِنْ شُرُوطِ الصِّيْغَةِ خَمْسَةٌ وَذَكَرَ فِى شَرْحِ المِنْهَجِ أرْبَعَةٌ:... إلَى أنْ قَالَ: الثَّانِى: أنْ يَتَلَفَّظَ بِحَيْثُ يَسْمَعُهُ مَنْ بِقُرْبِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْهُ صَاحِبُهُ بِأَنْ بَلَغَهُ ذَلِكَ فَورًا او حَمَلَتْهُ الرِّيْحُ إلَيْهِ فَقَبِلَ.

“jumlah dari apa yang telah mushannif sebutkan tentang syarat-syarat shighat adalah lima dan dalam kitab syarah minhaj, mushannif menyebutkan empat: … sampai mushannif berkata: “yang kedua, hendaklah seseorang mengucapkan sekira orang yang berada didekatnya mendengar ucapannya, meskipun temannya tidak mendengar, dengan sekita dia menyampaikan hal tersebut kepada temannya seketika, atau angin telah membawa ucapan tersebut kepada temannya dan temannya menerima.
NIKAH LEWAT TELEPON
bagaimana hukumnya akad nikah melalui telepon ? mohon penjelasannya..

jawab:

ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah.
dasar hukum

1. kifayatul akhyar ii/5
فرع - يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُورُ أَرْبَعَةٍ: وَلِىٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

artinya: (cabang) dan disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang ; wali,calon pengantin dan dua orang saksi yang adil.

2. tuhfatul habib ala syarhil khatib iii/335
وَمِمَّاتَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَبْطُ. (قوله والضبط) أَيْ لألْفَاظِ وَلِىِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ فَلاَ يَكْفِي سِمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأصْوَاتِ تَشْبِيْهٌ.

mendengar, melihat dan (dlobith) membenarkan adalah bagian dari syarat diperkenankannya dua orang saksi. (pernyataan penyusun ‘wa al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari wali pengantin putri dan pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz (perkataan) mereka berdua dikegelapan, karena suara itu (mengandung) keserupaan).
HUKUM MENGULANGI AKAD NIKAH
Bagaimana hukumnya jika mengulang kembali ijab qobul akad nikah ?
Jawaban:
Khilaf (terdapat perbedaan pendapat Ulama'). Menurut Qaul shahih (pendapat yang benar) hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada 'Akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui 'Aqad itu hanya sekedar keindahan (al-Tajammul) atau berhati-hati (al-Ihtiyath). Menurut qaul lain (pendapat lain) 'aqad baru tersebut bisa merusak 'aqad yang telah terjadi.
Keterangan dari kitab al-anwar juz Vll hal. 88
الأنوار لأعمال الأبرار ج-7 ص: 88
لو جدد رجل نكاح زوجته لزمه مهر أخر لأنه إقرار في الفرقة وينتقص به الطلاق ويحتاج إلي التحليل في المرة الثالثة.

Keterangan dari kitab Hasyaih al-Jamal ala al-Minhaj juz IV hal.245
حاشية الجمل على المنهج الجزء الرابع صحيفة 245
وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ

HUKUM KHUTBAH NIKAH
Biasanya di negara kita ini, Khutbah Jum’ah mengunakan atau memakai bahasa arab. Yang banyak kurang dimengerti isi dan kandungan khutbah tersebut oleh para jamaahnya, Bagaiman hukumnya khutbah yang dalam khutbahnya, sang khatib mengunakan bahasa daerah atau bahasa Indonesia.

Jawaban:
1. Rukun-rukun khutbah jumuah (baca hamdalah, shalawat Nabi, berwasiat dengan taqwa, membaca ayat Alquran dalam salah satu dari dua khutbah, dan mendoakan kepada orang Mu’min laki-laki dan perempuan) harus diucapkan dengan bahasa Arab sekalipun kita tidak mengerti isinya, . Adapun selain rukun, boleh diterjemahkan ke dalam bahasa selain Arab. Dengan syarat tidak terlalu panjang dan harus ada kaitannya dengan nasihat-nasihat.

2. Persyaratan khutbah dan bacaan-bacaan salat dengan bahasa Arab sekalipun kita tidak mengerti isinya, itu dapat kita mengerti dan kita pahami, karena jika diperbolehkan dengan bahasa daerah dan diharuskan mengerti isinya, maka bagaimana khutbah bacaan-bacaan salat tersebut dapat dimengerti oleh orang asing yang kebetulan bermakmum? Di samping itu peryataan bahasa arab tersebut mendorong kaum muslimin untuk mempelajarinya, sehingga dengan demikian kaum muslimin tidak hanya mengerti dan memahami isi khutbah. Akan tetapi sekaligus mengerti isi dari Alquran dan Al Hadits serta kitab-kitab ilmu pengetahuan tentang agama yang sembilan puluh persen berbahasa Arab.

Dasar pengambilan Kitab Irsyadul Ibad halaman 27 disebutkan:
شُرُوْطُ صِحَّةِ الجُمُعَةِ سِتَةُ… وَتَقْدِيْمُ خُطْبَتَيْنِ بِالعَربِيَّةِ وَاِنْ لَمْ يَفْهَمُوا…

Syarat-syarat keabsahan salat jumu’ah itu ada enam… Dan mendahulukan dua khutbah dengan dua bahasa Arab, meskipun para jamaah tidak memahaminya…

Dalam Kitab Nihayatuz Zein halaman 140 disebutkan:
(وَعَرَ بِيَّةٌ) بِاَنء تَكُوْنَ اَركَانَ الخُطْبَتَيْنِ بِالْعَرَبِيَّتةِ .فَانْ لَمْ يَكُنْ ثمَّ مَنْ يُحْسِنُ العَرَبِيَّةَ وَلَمْ يَمْكِنْ تَعَلَّمُهَا خَطَبَ بِغَيْرِهاَ.فَاِنْ اَمْكَن وَجَبَ عَلَى سَبِيْلِ فَرْضِ الكِفَابَةِ, فَيَكْفِى فِي ذَلِكَ وَاخِدٌ.فَلَوْ تَرَكُوْا التَّعَلُّمَ مَعَ اِمْكَا نِهِ عَصَوْا وَلاَ جَمْعَةُ لَهُمْ فَيُصَلّو نَ الظُّهْرَ.

(Dan bahasa Arab) artinya hendaklah rukun-rukun khutbah adalah dengan bahasa Arab. Jika di sana (tempat melakukan salat jumuah) tidak ada orang yang dapat berbahasa Arab dengan baik dan tidak mungkin dapat mempelajarinya, maka khatib dapat/boleh berkhutbah dengan bahasa selain Arab. Jika memungkinkan belajar bahasa Arab, maka wajib atas semua orang secara wajib kifayah, dan dalam hal tersebut cukup dilakukan oleh satu orang. Dan jika mereka meninggalkan belajar bahasa Arab beserta kemampuan mereka untuk mempelajarinya, maka mereka telah berbuaat ma’siat dan salat jumuah yang mereka lakukan tidak sah, sehingga harus melakukan salat dhuhur.

Abdul Qadir Al-Jailani

Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.
Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.
Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari’atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo’a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al Jin:18)
Kelahirannya
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.
Pendidikannya
Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Pemahamannya
Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, “Dia (Allah) di arah atas, berada di atas ‘ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. “Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, “Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ (Allah berada di atas ‘ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah di atas ‘Arsy.
Dakwahnya
Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.
Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.
Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, “Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.
Wafatnya
Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.
Pendapat ulama
Ketika ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, “Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”
Ibnu Rajab juga berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “
Imam Adz Dzahabi mengatakan, “intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.” (Syiar XX/451).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.

BIOGRAFI ABI YAZID AL BUSTHOMI

Abu Yazid al-Busthami bernama lengkap Thifur ibn Isa ibn Adam ibn Isa ibn ‘Ali dan beliau mempunyai nama panggilan tersendiri dengan nama Abu Yazid al-Busthami, adapun al-Busthami merupakan nisbah terhadap nama tempat yang bernama Bustham yang mana terletak di wilayah Khurasan dan sekarang dikenal dengan sebutan Negara Islam Iran, dan beliau mempunyai nama panggilan lain yaitu Thifur ibn Isa ibn Sarusyan, adapun Sarusyan merupakan nisbah terhadap nama kakeknya dan Thifur adalah nama burung yang kecil, diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa kakeknya itu seorang Zoroaster kemudian dia memeluk Islam.
Beberapa sumber menjelaskan tentang sejarah kelahirannya secara terperinci akan tetapi sangat disayangkan sekali karena sedikit yang menceritakan tentang tempat kelahirannya. Ibunya dilahirkan di wilayah Mobadan yang mana wilayah tersebut berpenduduk mayoritas beragama Zoroaster, kemudian setelah itu beliau pindah kedaerah Bawidzan yang mana daerah tersebut dihuni oleh mayoritas penganut agama Islam.
Abu Yazid mempunyai dua saudara lelaki dan dua saudara perempuan, adapun kedua saudara lelakinya bernama Adam dan Ali sedangkan kedua saudara perempuannya tidak diketahui namanya, diceritakan juga bahwa ibunya adalah seorang wanita yang zuhud -menjauhi se-mua urusan duniawi di alam kehidup-annya- dan beliau seorang ahli ibadah.
Diceritakan di dalam Kitab Tarajim bahwa Abu Yazid adalah seorang yang sangat zuhud, ahli ibadah dan seorang yang sangat ‘arif, salah satu muridnya adalah Salma telah meriwayatkan hadits darinya yang mana sampai sanad hadits tersebut kepada Abu Sa’id al-Khudri.
Abu Yazid al-Busthami wafat pada tahun 261 H, sebagian catatan menga-takan beliau wafat pada tahun 264 H.
Tidak banyak sumber ataupun catatan yang menceritakan tentang sejarah keilmuannya secara detail dan terperinci, akan tetapi sebagian riwayat menceritakan bahwa beliau itu seorang Ahlu Sunah wa al-Jama’ah yang bermadzhab Hanafi, dan beliau belajar ilmu Tauhid kepada temannya yang bernama Abu ‘Ali al-Sunda. Abu Yazid al-Busthami tidak menulis dan mengarang sesuatu yang berbentuk kitab ataupun catatan namun banyak dari murid-muridnya yang mengutip perkataan beliau dan meriwayatkannya di dalam sebuah kitab, seperti apa yang tertulis di dalam kitab al-Nur min Kalimat Abu Thifur yang ditulis oleh Abu Fadl Muhammad ibn al-Sahlaji (389-476 H) di dalam kitabnya berisi tentang riwayat hidup Abu Yazid al-Busthami, keilmuan dan kehidupannya di dalam dunia sufi, di dalam kitab ini al-Sahlaji telah mengutip perkataan Abu Yazid al-Busthami diperkirakan sekitar 500 riwayat, dan al-Sahlaji telah hafal akan semua riwayat tersebut yang mana beliau telah mengutip dari beberapa Syaikh yang bertemu langsung dengan Abu Yazid al-Busthami, namun tidak begitu saja al-Sahlaji mengutip dan mengambil perkataan Abu Yazid dari para Syaikhnya akan tetapi beliau penuh dengan kehati-hatian ketika mengutip dan meriwayatkan perkataan Abu Yazid.
Selain kitab yang ditulis oleh al-Sahlaji ada pula kitab lain yang menceritakan tentang kehidupan Abu Yazid al-Busthami diantaranya Syutuhat al-Shufiyah yang ditahqiq oleh Doktor Abdurahman badawi. Diceritakan pula dari beberapa riwayat bahwa Abu Yazid al-Busthami mempunyai 313 guru dan yang paling terkenal diantaranya adalah Imam Abu Ja’far al-Shodiq. Abu Yazid-pun mempunyai banyak murid diantara murid tersebut yang menonjol di dalam keilmuannya dan yang paling banyak meriwayatkan perkataannya adalah Abu Musa al-Daibala.
Abu Yazid digolongkan oleh para Ulama ke dalam golongan orang-orang sufi yang samar dan adapun alasannya karena beliau mempergunakan metode Syutuh untuk mendeskripsikan tentang perasaan ruhiyahnya, akan tetapi banyak orang menentang perkataan beliau, alasannya karena perkataan dan deskripsi beliau tentang perasaan ruhiyah sangat jauh dari ajaran al-Quran dan al-Hadits.
Yang dimaksud Syutuh adalah deskripsi yang aneh dan ganjil terhadap keberadaan teori emanasi dan berlebih-lebihan didalam mendeskripsikannya.
Namun kebanyakan para sufisme menerima pendapat golongan Ahlu Syutuh yang yang berpendapat tentang kekuatan yang maujud dan penglihatan yang ma’rifatdikarenakan keterbatasan bahasa dari kesempurnaan untuk mengungkapkan dan menterjemahkan gambaran perasaan ruhiyahnya tersebut, dikarenakan kedua hal tersebut sangat sulit untuk mencapai kesempurnaan bahasa dalam mengungkapkannya, maka terjadi salah pemahaman. Maka oleh karena itu banyak para sufisme berpendapat bahwasanya tidak berhak dan tidak boleh untuk siapapun juga mengingkari para Ashhabu Syutuh namun dengan catatan para Ashhabu Syutuhtersebut terkenal dengan keshalehannya, ketakwaannya dan keilmuannya, maka daripada itu, semua urusan diserahkan kepada Allah SWT.
Abu Yazid adalah orang pertama di kalangan kaum sufi yang mempergunakan metode syutuh di dalam mendeskripsikan perasaan ma’rifatnya.
Banyak para syaikh sufisme merasa cemas terhadap perkataan Abu Yazid yang penuh dengan keganjilan, diantaranya adalah Junaid. Selain Junaid ada lagi penulis kitab al-Lumma yang mana beliau telah mengutip penjelasan Junaid tersebut bahkan beliau mencoba mempertahankan dan membelanya. Namun tidak semua para syaikh sufisme menerima pendapat Abu Yazid bahkan diantara mereka mengingkari dan menolak secara mentah-mentah pendapat Abu Yazid tentang metode syutuhnya. Diantara Syaikh sufisme yang menolak pernyataannya adalah Ibnu Salim al-Basri bahkan beliau sampai mengkafirkan Abu Yazid.
Diantara pernyataan Abu Yazid yang diingkari dan ditolak oleh beberapa syaikh sufisme diantaranya:
a. Maha suciku
b. Apa yang dimaksud dengan neraka? Sungguh aku akan meminta izin darinya besok, dan jadikanlah aku sebagai korban untuk ahli Neraka.
c. Apa yang dimaksud dengan Surga? Surga hanyalah permainan anak-anak, yang dimaksud disini adalah orang-orang yang cinta terhadap dunia.
d. Siapa orang-orang yang berbicara itu? Sungguh pembicaraan mereka hanya-lah untuk sesama manusia, maka hatiku telah berbicara dengan Allah.

Ziarah Kubur

Kita telah diperintah untuk ziarah kubur, Rasulallah s.a.w. dan para sahabat juga menjalankan ziarah kubur. Jadi tidak ada dasar sama sekali untuk melarang ziarah kubur, karena kita semua tahu bahwa Rasulallah pernah ziarah ke makam Baqi’ dan mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada para ahli kubur di makam Baqi’ tersebut.<br /> Dalil-dalil tentang ziarah kubur
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Artinya : Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ أَنْ أَسْتَغْفِر لأُمِّيْ ، فَلَمْ يَأذَنْ لِيْ ، وَاسْتأذَنْتُهُ أنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِيْ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Berkata, Rasulallah s.a.w. bersabda: Aku meminta ijin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengijinkan. Kemudian aku meminta ijin kepada Allah untuk berziarah ke makam ibuku, lalu Allah mengijinkanku. (H.R. Muslim)

وَفِى رِوَايَةٍ أُخْرَى : زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ اُمِّهِ, فَبَكَي وَاَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (اَخْرَجَهُ مُسْلِمْ وَاْلحَكِيْم
Artinya : Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah bahwa : Nabi s.a.w. ziarah ke makam ibunya kemudian menangis lalu menangislah orang-orang sekitarnya. (H.R. Muslim [hadits ke 2256], dan al-Hakim [hadits ke 1390]).

Jadi dengan demikian, menangis di dekat kubur tidaklah berimplikasi pada kekafiran, begitu juga tidak mendatangkan siksa bagi mayit yang ditangisi.
Adapun Pendapat para ulama’ tentang ziarah kubur diantaranya:
1. Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” menceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya pendapatnya tentang masalah ziarah kubur, manakah yang lebih utama antara ziarah kubur ataukah meninggalkannya. Beliau Imam Ahmad kemudian menjawab, bahwa ziarah kubur itu lebih utama.
2. Imam Nawawi
Imam Nawawi secara konsisten berpendapat dengan hukum sunahnya ziarah kubur. Imam Nawawi juga menjelaskan tentang adanya ijma’ dari kalangan ashabus Syafi’i (para pengikut Imam Syafi’i) tentang sunahnya ziarah kubur.
3. Doktor Said Ramadlan al-Buthi
Doktor Said Ramadhan al-Buthi juga berbendapat dengan pendapat yang memperbolehkan ziarah kubur. Al-Buthi berkata, “Belakangan ini banyak dari kalangan umat Islam yang mengingkari sampainya pahala kepada mayit, dan menyepelekan permasalahan ziarah ke kubur.”

Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?

Seseorang menanyakan kepada saya tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo'akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan," katanya.

Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
gt;

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Membaca Shalawat untuk Nabi

Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU, disamping amalan-amalan lain semacam itu. Ada shalawat “Nariyah”, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah sekaligus ibadah.

Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah: Rasulullah bersabda: Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.

Salah satu shalawat yang sangat popular ialah “Shalawat Badar”. Hampir setiap warga NU, dari anak kecil sampai kakek dan nenek, dapat dipastikan melantunkan shalawat Badar. Bahkan saking populernya, orang bukan NU pun ikut hafal karena pagi, siang, malam, acara dimana dan kapan saja “Shalawat Badar” selalu dilantunkan bersama-sama.

Shalawat yang satu ini, “shalawat Nariyah”, tidak kalah populernya di kalangan warga NU. Khususnya bila menghadapi problem hidup yang sulit dipecahkan maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan persoalan pelik itu kepada Allah. Dan shalawat Nariyah adalah salah satu jalan mengadu kepada-Nya.

Salah satu shalawat lain yang mustajab ialah shalawat Tafrijiyah Qurtubiyah, yang disebut orang Maroko shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak apa yang tidak disuka, mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat Nariyah ini sebanyak 4444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat bi idznillah. Shalawat ini juga oleh para ahli yang tahu rahasia alam.

Imam Dainuri memberikan komentarnya: Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat (fardlu) 11 kali digunakan sebagai wiridan maka rejekinya tidak akan putus, disamping mendapatkan pangkat/kedudukan dan tingkatan orang kaya. (Khaziyat al-Asrar, hlm 179)

Simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:

وَأخْرَجَ ابْنُ مُنْذَة عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنهُ أنّهُ قال قال َرسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: مَنْ صَلّى عَلَيَّ كُلّ يَوْمٍ مِئَة مَرّةٍ – وَفِيْ رِوَايَةٍ – مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي اليَوْمِ مِئَة مَرّةٍ قَضَى اللهُ لَهُ مِئَة حَجَّةٍ – سَبْعِيْنَ مِنْهَا في الأخِرَةِ وَثَلاثِيْنَ فِي الدُّنْيَا – إلى أنْ قال – وَرُوِيَ أن النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عليه وسلم قال : اكْثَرُوا مِنَ الصَّلاةِ عَلَيَّ فَإنّهَا تَحِلُّ اْلعَقْدَ وَتَفْرجُ الكُرَبَ – كَذَا فِيْ النزهَةِ

Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengijabahi 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.

Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi).

Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya (istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti bermanfaat.

Ada lagi hadits lain. Rasulullah bersabda: Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku sehingga aku bisa menjawab salam itu. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah. Ada di kitab Imam an-Nawawi, dan sanadnya shahih)

Jilbab Wanita Muslimah

Dialog saya dengan rekan di kebenaran.net saat itu ada yang menyinggung jilbab muslimah. Pada kesempatan tersebut disinggung wanita yang memakai jilbab namun mengenakan gaun yang ketat sehingga timbul kesan bahwa wanita tersebut sebenarnya ingin mengejar mode namun terhalang maksudnya oleh jilbab.
Menurut buku Jilbab Wanita Muslimah karangan Muhammad Nashirudin AL-albani, disebutkan bahwa syarat Jilbab wanita muslimah adalah sebagai berikut:
* Menutup seluruh Badan Selain yang Dikecualikan
* Bukan berfungsi sebagai perhiasan
* Kainnya harus tebal, tidak tipis
* Harus Longgar, tidak ketat sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya
* Tidak diberi wewangian atau parfum
* Tidak menyerupai Pakaian Laki-laki
* Tidak menyerupai Pakaian wanita-wanita kafir
* Bukan Libas Syuhrah (Pakaian utuk mencari popularitas)
DALIL-DALIL NAQLI
-----------------
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak digannggu. Dan ALlah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Ahzab : 59)
"Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka." (An-Nuur 31).
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang pertama" (Al-Ahzab 33).
"Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk."(HR. Thabrani dalam Al-Mu'jam As-Shaghir)
Dari Hisyam bin Urwah bahwasanya AL-Mundzir bin Az-Zubair datang dari Iraq, lalu mengirimkan kepada Asma' binti Abu Bakar sebuah pakaian Marwiyah dan Quhiyyah (nama pakaian yang terkenal dari Iraq), yang ternyata tipis dan halus. Peristiwa ini terjadi setelah Asma' mengalami kebutaan. Asma' pun menyentuhnya dengan tangannya kemudian berkata :"Cis, kembalikan ini kepadanya!" Al-Munzir mereasakeberatan, lalu berkata: "Duhai bunda, sesungguhnya pakaian itu tidak tipis!" Ia enjawab""Memang tidak tipis, akan tetapi ia dapat menggambarkan (lekuk tubuh)!" (HR. Ibnu Sa'd)
Rasulullah SAW memberiku baju Qutbthiyah yang tebal (biasanya baju Qubthiyah itu tipis) yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-kalbi kepada beliau. Bju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku:"Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qubthiyah?"Aku menjawab: "Aku pakaikan baju itu pada istriku." Nabi lalu bersabda: "Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya." (HR. Ahmad dan Baihaqi dengan sanad Hasan).
Dari Abu Musa Al-Asy'ari bahwasanya ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda : "Siapapun perempuan yang memakai wewangian, alalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya maka ia adalah pezina."(HR. An-Nasa'i, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll)
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) keluar rumah menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian!"(HR. Muslim dan Abu 'Awanah)
Dari Abu Hurairah yang berkata : "Rasulullah SAW melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria" (HR. Abu Dawudm, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Ahmad)
Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita" (HR. Ahmad).
"Rasulullah SAW melihat saya mengenakan duabuah kain yang diwarnai dengan 'ushfur (nama tumbuhan), maka beliau pun bersabda: "Sungguh, ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka jangan memakainya!"(HR. Muslim)"
"Suatu ketika Rasulullah SAW keluar di tengah-tengah para tokoh kalangan Anshar, jenggot mereka berwarna putih. Beliau bersabda:"Wahai sekalian orang Anshar! semirlah dengan warna mereah dan kuning, selisihilah ahli kitab!" Maka, kai berkata:"Ya Rasulullah SAW! Sesungguhnya ahli kitab memakai celana, tetapi tidak memakai sarung!" Maka Rasulullah SAW bersabda :"Pakailah celana dan pakailah sarung, selisihilah ahli kitab!" Kami berkata:"Ya Rasulullah! sesungguhnya Ahli Kitab berjalan dengan kaki telanjang dan tidak mau memakai alas kaki!" Beliau bersabda:"Berjalanlah dengan kaki telanjang maupun dengan alas kaki, selisihilah Ahli Kitab!" Kami berkata : "Ya Rasulullah! sesungguhnya Ahli Kitab memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka" Beliau SAW bersabda :"Pangkaslah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot kalian, selisihilah Ahli Kitab!"
Ibnu Umar ra. yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mengenakan pakaian shuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api naar."(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sejarah Gelap Para Paus” “Sejarah Gelap Para Paus”

Selasa, 22 Maret 2011
OLeh: Dr. Adian Husaini

“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.

“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)

Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.

Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.

Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.

Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.

Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:

“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”

Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).

Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.

Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.

Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.

Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.

Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.

Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.

Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.

Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.

Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.

Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.

Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).

Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.

Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.

Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.

Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah — sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian – maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.

Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.

50 Amalan Pelebur Dosa dan Kesalahan

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

Seputar Hukum Jenggot : Wajib, Sunnah atau Adat?

Dalil-dalil bahwa Rasulullah SAW berjenggot pasti sudah dibaca oleh semua kalangan. Demikian juga bahwa Rasulullah SAW bersabda untuk memanjangkan jenggot dan memotong kumis agar berbeda dengan orang yahudi, pasti sudah dilalap habis oleh para ulama. Dan kesemuanya merupakan hadits yang secara sanad telah diakui keshahihannya.

Di antara dalil-dalil itu adalah :
خالِفُوا المُشركينَ ووَفِّرُوا اللِّحى واحْفُوا الشوارب
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda,“Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis. (HR. Bukhari)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot.”(HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”Potonglah kumis dan biarkan jenggot, selisilah orang-orang majusi” (HR. Ahmad II/365, 366 dan Muslim 260)

عن عائشة عن النبي ص قال : عشْرٌ مِن الفطرة: قصُّ الشارب وإعفاء اللحْية والسواك واستنشاق الماء وقصُّ الأظفار وغسْل البراجِم ونَتْفُ الإبِط وحلْق العانَة وانتقاص الماء
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi SAW bersabda,”10 hal yang termasuk fitrah : mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, istinsyak (memasukkan air ke hidung), memotong kuku, mencuci sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan menghemat air.(HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,”Selisihilah orang-orang musyrik (dengan cara) melebatkan jenggot dan memendekkan kumis” (HR. Bukhari 5553 dan Muslim 259)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis. Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani” (HR. Ahmad, Al-Musnad II/366)

Apakah Semua Tindakan Rasulullah SAW Hukumnya Wajib Kita Ikuti?
Tapi yang jadi masalah, apakah setiap perbuatan Rasulullah SAW itu menjadi sebuah kewajiban atau sekedar menjadi sunnah, itu adalah perkara yang lain. Apakah perintah Rasulullah SAW berlaku secara universal ataukah terkait dengan keadaan dan kondisi tertentu, itu adalah sebuah tema yang masih jadi perbedaan pandangan para ulama.
Ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat penting sekaligus susah dijawab. Kita ambil contoh sederhana, misalnya diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW pernah naik mimbar untuk khutbah Jumat dengan memegang tongkat.
Haditsnya shahih dan semua ulama sepakat atas hal itu. Tapi yang jadi titik masalah, bagaimana kemudian menafsirkan hal itu ke dalam tataran wilayah hukum. Apakah dalam khutbah Jumat disunnahkan buat khatib untuk pegang tongkat, ataukah hukumnya malah wajib, sehingga kalau tidak pegang tongkat menjadi tidak sah? Ataukah tongkat itu hanya sekedar urusan teknis lantaran dahulu Rasulullah SAW sudah tua dan badannya butuh disangga dengan tongkat?
Tentu ini adalah wilayah khilafiyah yang berangkat dari perbedaan dalam metodologi pengambilan kesimpulan hukum. Dan dalam kenyataannya, kita menyaksikan sebagian masjid telah menyediakan tongkat khusus buat dipegang khatib saat naik mimbar, walau pun sebenarnya khatib itu masih muda dan badannya kekar, tapi karena ada riwayat bahwa Rasulullah SAW khutbah berpegangan pada tongkat, si khatib muda itu pun khutbah dengan berpegangan pada tongkat.
Kalau kita tanya, kenapa khutbah pakai tongkat, jawabnya enteng saja, kan Rasulullah SAW juga khutbah pakai tongkat.
Sementara masjid yang lainnya tidak menyediakan tongkat buat khatib. Kalau ditanya kenapa tidak ada tongkat, mereka akan jawab bahwa tongkat itu bukan sunnah dalam khutbah jumat, meskipun Rasulullah SAW diriwayatkan pernah khutbah pakai tongkat.
Maka demikian juga dengan masalah perjenggotan. Sebagian ulama mengatakan bahwa jenggot itu wajib dipelihara oleh setiap laki-laki muslim. Apa dasarnya? Ya, karena dahulu Nabi SAW itu jenggotan, bahkan diriwayatkan jenggotnya sangat panjang dan lebat sampai ke pusernya.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Dengan perbedaan metodologi pengambilan hukum yang ada, maka akibatnya kita melihat ulama berbeda penapat dalam masalah ini. Sebagai orang yang sedang belajar ilmu syariah, tidak ada salahnya kita melakukan eksplorasi lebih jauh tentang siapa saja yang ikut memberikan fatwa dalam masalah ini dan kenapa mereka berbeda pendapat.
Secara umum kita akan membagi dua saja, yaitu kalangan yang mewajibkan jenggot dan kalangan yang tidak mewajibkan. Mereka yang tidak mewajibkan, masih berbeda lagi, ada yang mengatakan sunnah dan kalau tidak memelihara jenggot berarti makruh, dan ada juga yang mengatakan bukan sunnah.
Saya coba tampilkan hanya beberapa saja, tentu para ulama yang punya pendapat dalam masalah ini sangat banyak, tapi cukup beberapa saja karena terbatasan halaman, lagian biar tidak bosen membacanya karena kepanjangan.
1. Mereka Yang Mewajibkan Jenggot
1.1. Pendapat Mazhab Hanafi dan Hanbali
Kedua mazhab ini secara tegas menyebutkan bahwa haram hukumnya mencukur habis jenggot. Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan Maliki dan sebagian kecil dari ulama di kalangan mazhab Syafi’i.
Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali dalam kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 433 bab At-Ta’zir fil Islam, mengatakan bahwa orang yang mencukur jenggotnya wajib membayar diyat kamilah(tebusan), sebagaimana juga merupakan pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Al-Imam Ats-Tsauri. Sedangkan, kata beliau, As-Syafi’i dan dan Maliki mengatakan harus dihukum sesuai dengan keputusan hakim.
Ini menunjukkan bahwa urusan mencukur jenggot merupakan hal yang terlarang buat umat Islam dalam pandangan para ulama mazhab.
1.2. Syeikh Al-Albani
Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah- telah menjelaskan hukum mencukur jenggot dalam kitabnya, Adabu Az-Zifaf, hal.118-123. Disana dia menegaskan bahwa mencukur jenggot termasuk adat kebiasaan yang sangat buruk bagi orang yang fitrahnya masih sehat, dan itu adalah sebuah bencana yang telah menimpa sebagian besar kaum laki-laki, yaitu berhias diri dengan cara mencukur jenggot yang itu tidak lain hanya karena ikut-ikutan kepada orang kafir Eropa.
1. 3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Dalam kitab Risalah Fi Shifatin Shalatin Nabi, hal. 31 dituliskan bahwa saat ditanyakan kepada beliau tentang hukum mencukur jenggot, jawaban beliau adalah bahwa mencukur jenggot itu diharamkan karena merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah SAW.
1.4. Syeikh Muqbil
Saking semangatnya urusan memelihara jenggot ini, sampai sebagian kalangan ulama seperti Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah mengeluarkan fatwa bahwa orang yang mencukur jenggotnya sampai habis tergolong orang yang fasiq.
2. Mereka Yang Tidak Mewajibkan
Namun sebagian ulama yang lain punya pendapat yang tidak sama.
2.1. Mazhab Syafi’i dan Maliki
Umumnya pendapat ulama di kalangan mazhab Syafi’i dan sebagian dari ulama mazhab Maliki menyebutkan bahwa mencukur habis jenggot tidak merupakan perkara yang haram. Hukumnya hanya sampai batas makruh saja.
2.2. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Dalam masalah apakah mencukur habis jenggot itu haram, Syeikh Doktor Yusuf Al-Qaradawi cenderung mengatakan bahwa hal itu bukan haram.
2.3. Syeikhul Azhar Jadil Haq Ali Jadilhaq
Beliau adalah ulama Mesir kenamaan yang pernah menjabat sebagai Grand Master Universitas Al-Azhar di Mesir. Dalam hal ini beliau tidak mewajibkan kita untuk memelihara jenggot, namun mengatakan bahwa memelihara jenggot itu hukumnya sunnah.
2.4 Syeikh Muhammad Syaltut dan Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Dua ulama kenamaan Mesir ini juga tidak mewajibkan jenggot. Bahkan mereka mengatakan bahwa secara hukum syar’i, memelihara jenggot itu lebih merupakan kebiasaan (urf) saja. Tidak ada ketentuan syar’i yang khusus, apakah hukumnya wajib atau sunnah.
Di antara hujjah kalangan ini antara lain memang benar bahwa Rasulllah SAW berjenggot, bahkan benar bahwa beliau menganjurkan agar laki-laki muslim memelihara jenggot agar tampil beda dengan yahudi. Tapi contoh dari Rasulullah SAW tidak lantas menjadi sebuah kewajiban. Sebagaimana urusan tongkat waktu khutbah Jumat.
Ada pun Rasulullah SAW memerintahkan untuk berjenggot agar berbeda tampilan dengan orang yahudi, maka hal itu dianggap kondisional. Karena dahulu orang yahudi memelihara kumis dan mencukur habis jenggotnya.
Tapi ternyata di lain waktu, orang-orang yahudi punya penampilan yang berbeda, mereka malah mencukur habis kumis dan memanjangkan jenggot. Nah, kalau sudah begini, apakah kita tetap harus mencukur kumis dan memanjangkan jenggot? Tentu urusannya jadi panjang.
Pengalaman Pribadi
Dosen-dosen saya yang orang Saudi umumnya mewajibkan para mahasiswanya berjenggot panjang dan tebal. Wajah mereka ikut cerah kalau melihat mahasiswanya punya jenggot tebal dan panjang seperti mereka. Bahkan urusan jenggot panjang ini bisa berpengaruh ke nilai ujian. Hmm repot juga ya?
Untunglah saya dahulu termasuk yang ditakdirkan Allah punya jenggot, sehingga setiap bertemu dengan dosen-dosen Saudi, mereka selalu memuji saya,”Ya akhi, anta talibun muwaffaq, anta multazim bissunnah“. Enak juga ya punya jenggot, belum apa-apa sudah dipuji dosen.
Tapi yang kasihan malah teman saya, meski sudah lusinan obat jenggot dari berbagai merk dioles-oleskan ke dagunya yang licin dan mengkilap itu, ternyata tak satu pun jenggot yang diharapkan mau tumbuh disitu.
Saat bertemu dengan dosen Saudi, dia hanya bisa tersenyum kecut. Apalagi ketika dosen dari Saudi mengkritik,”Ya akhi, aina lihyah? Al-lihyah hiya sunnaturasulillah, lazim..labud…ittaqillah “. (Ya akhi, mana jenggot, jenggot itu sunnah Rasululah, harus… kudu..).
Tentu saja teman saya itu kelabakan. Entah sudah kehabisan akal atau tidak tahu harus menjawab apalagi, akhirnya dia bilang,”Afwan ya ustadz, hadzihi sunnah aidhan, bal hiya sunnatullah“. (maaf ustadz, ini sih sunnah juga, tapi sunnatullah).
Maksudnya, sudah sunnatullah bahwa jenggot tidak tumbuh di dagunya. Terus mau diapain lagi? Untungnya dosennya paham dan tertawa keras sekali mendengar kisahnya beli lusian obat jenggot tapi tidak berhasil tumbuh jenggot.